Jumat, 27 Juni 2008

7. Sharing "Riwayat St. Benedictus"

Riwayat Hidup
St. Benediktus adalah seorang santo besar dalam Gereja, namun sayangnya tidak banyak yang dapat kita ketahui tentang riwayat hidupnya kecuali dari buku “Dialogue” yang ditulis oleh St. Gregorius.Di kota Norcia, Italia, lahirlah seorang putera dari keluarga petani kaya yang bernama Benediktus. Ia memiliki seorang saudari kembar, yaitu Santa Skolastika yang sejak masa kecilnya telah membaktikan hidupnya untuk Tuhan. Ketika menginjak masa remaja, Benediktus dikirim ke Roma oleh orang tuanya. Namun, rupanya cara hidup yang tidak baik di kota Roma membuatnya menjadi tidak tahan. Keadaan dunia di sekitarnya pada saat itu penuh dengan bangsa-bangsa kafir, Aria dan dunia tampaknya sudah mengarah ke barbarisme. Para pejabat saat itu kebanyakan jika bukan seorang atheis, adalah seorang barbarian atau seorang heretic. Banyak para pemuda yang mengikuti jejak para pendahulunya itu. Benediktus muda yang melihat keadaan tersebut akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Roma. Pada saat itu ia kira-kira mendekati umur 20 tahun. Mereka pergi ke desa Enfide di pengunungan, 30 mil dari Roma.


Ternyata walaupun Benediktus telah menjauhi godaan-godaan di Roma, ia menyadari bahwa itu tidak cukup. Tuhan rupanya memanggil dia ke dalam kesunyian untuk meninggalkan dunia. Akan tetapi, Benediktus setelah beberapa waktu lamanya tinggal dalam kehidupan yang tersembunyi di desa, ia tidak dapat tahan lebih lama lagi– terutama setelah ia membuat mujizat, memperbaiki tembikar yang rusak.


Dalam pencarian akan kesunyian yang total, Benediktus mulai mendaki lebih jauh lagi ke antara bukit-bukit hingga akhirnya ia mencapai sebuah tempat yang disebut Subiaco. Di tempat yang berbatu cadas ini ia bertemu dengan seorang rahib yang bernama Romanus. Kepada rahib ini Benediktus menjelaskan maksud hatinya untuk hidup sebagai seorang eremit/pertapa. Romanus sendiri tinggal di sebuah pertapaan yang tidak jauh dari situ. Ia mau membantu pemuda ini, maka ia memberikan sebuah pakaian dari bulu domba dan membawa Benediktus ke sebuah gua di pegunungan. Di tempat tersembunyi inilah Benediktus hidup selama tiga tahun, tanpa diketahui oleh siapa pun juga kecuali Romanus. Setiap hari ia membawa roti bagi pertapa muda ini. Makanan itu ditaruh dalam sebuah keranjang, yang diturunkan dengan tali melalui batu-batuan. Orang yang pertama kali menemukan Benediktus adalah seorang pastor. Ketika itu pastor tersebut sedang mempersiapkan makan malam, tiba-tiba ia mendengar suara yang mengatakan kepadanya, “Engkau mempersiapkan bagi dirimu makanan yang enak, sedangkan hambaku Benediktus sedang kelaparan.” Pastor ini pun segera keluar dan mencari Benediktus, dengan susah payah akhirnya ia menemukannya. Tidak lama kemudian beberapa gembala menemukan Benediktus. Ketika mereka menemukannya, mereka sangat terkesan dan belajar banyak dari percakapan mereka. Mulai saat itulah ia mulai dikenal orang, banyak orang mengunjunginya, membawa makanan dan menerima petunjuk dan nasihat darinya.


Meskipun Benediktus hidup jauh dari dunia, seperti para bapa padang gurun yang lain, ia harus menemui godaan-godaan. Pada suatu saat ketika ia sendirian, sang penggoda mulai menunjukkan dirinya. Seekor burung hitam mulai terbang mengitari mukanya, dan mendekat begitu dekatnya sehingga jika Benediktus mau, ia dapat menangkapnya dengan tangannya. Akan tetapi, akhirnya burung tersebut pergi dengan membuat tanda salib.

Kemudian godaan hawa nafsu muncul seperti yang belum pernah ia alami sebelumnya. Si jahat membawa ke dalam imajinasinya seorang wanita yang pernah ia temui sebelumnya. Si jahat membakar hatinya dengan hawa nafsu, sehingga pikirannya hampir dikuasai untuk meninggalkan pertapaannya. Akan tetapi dibantu oleh kerahiman ilahi, ia menemukan kekuatan untuk menolak godaan tersebut. Ketika ia melihat tumbuhan dan semak berduri di dekatnya, ia melemparkan dirinya ke sana dan berguling-guling sehingga tubuhya terasa sakit. Melalui luka-luka di tubuhnya, ia menyembuhkan luka-luka di jiwanya, dan tidak pernah lagi mendapat kesukaran yang sama.


Di antara Tivoli dan Subiaco, terdapat sebuah tempat yang bernama Vicovaro. Di puncak bukit itu terdapat suatu komunitas rahib yang pemimpinnya baru saja meninggal. Mereka meminta Benediktus menggantikan pemimpin mereka. Pada mulanya ia menolak permintaan tersebut. Akan tetapi, karena mereka terus mendesak, akhirnya ia pun menyetujui. Namun, tidak lama kemudian mereka mulai membenci Benediktus, karena cara hidup dan disiplin yang diterapkan Benediktus terlalu keras bagi mereka yang sudah terbiasa hidup secara tidak benar. Bahkan mereka juga berusaha untuk meracuni minumannya, tetapi ketika ia membuat membuat tanda salib botol anggur itu pun pecah berkeping-keping.

Walaupun demikian Benediktus tidak marah kepada mereka; ia hanya berkata, “Tuhan mengampunimu, saudara-saudara. Mengapa engkau bersekongkol merencanakan hal yang jahat ini? Bukankah sudah kukatakan bahwa caraku tidak cocok dengan caramu? Pergi dan carilah kepala biara menurut seleramu sendiri, karena setelah kejadian ini kalian tidak bisa menahan saya di sini lagi di antara kalian.” Setelah berkata demikian ia pun kembali ke Subiaco.Pada saat Benediktus kembali ke Subiaco, Tuhan mulai mengirim banyak orang kepadanya. Pada saat itu Tuhan mulai mengerjakan karya besar dalam dirinya. Rupanya Tuhan ingin memakai Benediktus untuk mempersatukan para rahib yang selama ini terpencar-pencar, untuk lebih menguatkan mereka. Maka Benediktus mengumpulkan mereka yang mau mengikutinya dalam dua belas biara dari kayu, masing-masing terdiri dari 12 rahib dan memiliki kepala biaranya masing-masing. Ia menjadi pembimbing utama, namun tinggal secara terpisah dengan beberapa rahib yang dilatih secara khusus. Selama itu mereka tidak memiliki peraturan tertulis sendiri, tetapi mereka diberi pengetahuan tentang hidup religius dan mengikuti-contoh kebajikan-kebajikan dari cara hidup Benediktus sendiri. Mulai saat itu banyak orang dari berbagai daerah dan bangsa ingin bergabung bersama Benediktus.Suatu hari ada seorang bangsa Goth yang kasar dan tak terdidik datang kepada Benediktus dan ia diterima dengan sukacita serta diberi jubah biara. Dengan sabit besar, ia disuruh untuk membersihkan rumput-rumput liar yang tumbuh subur di dekat danau. Ia bekerja dengan sangat keras sampai kepala sabit tersebut terbang dan hilang ke dalam danau. Orang muda yang malang ini pun sangat sedih. Ketika Benediktus mendengar tentang kejadian itu, ia membawanya ke ujung danau dan mengambil sabit tersebut dan melemparkannya ke dalam danau. Segera kepala sabit itu muncul dari danau dan menempel pada tongkatnya. Benediktus lalu mengembalikan sabit itu dan berkata, “Ambillah! Lanjutkanlah pekerjaanmu dan janganlah bersedih hati!” Ini bukanlah mujizat Benediktus yang terakhir, yang menghapuskan pendapat orang bahwa pekerjaan tangan atau pekerjaan kasar itu menurunkan martabat dan merendahkan orang.

Benediktus percaya bahwa pekerjaan kasar bukan saja bermartabat, tetapi juga baik untuk mencapai kesucian.Sesuatu yang baik pasti juga akan menimbulkan reaksi dan tantangan. Di daerah sekitar Subiaco tinggallah seorang imam yang bernama Florentius. Ia menjadi iri hati melihat keberhasilan Benediktus. Berbagai macam cara dilakukannya untuk menjatuhkan nama baik Benediktus. Ia menyebarkan fitnah-fitnah yang jahat kepada orang-orang di sekitarnya, bahkan hendak membunuh Benediktus dengan mengirimkan roti beracun. Namun Tuhan tidak tinggal diam, Ia mengirim seekor burung gagak untuk mengambil roti itu dari Benediktus. Menyadari adanya maksud jahat dari Florentius, yang ditujukan kepada dirinya secara pribadi, maka akhirnya Benediktus memutuskan untuk meninggalkan Subiaco. Ia pergi ke daerah Monte Cassino, yang berada di tempat yang tinggi dan terpencil di perbatasan Campania. Monte Cassino dikelilingi lembah-lembah sempit yang naik ke atas menuju puncak gunung pada ketiga sisinya, dan di sisi yang lain adalah dataran Mediteranean.


Benediktus mengawali karya pertamanya di kota ini dengan berpuasa 40 hari lamanya, kemudian ia berkotbah untuk mempertobatkan mereka. Pengajaran dan mujizat yang dilakukannya membawa penduduk kota tersebut kepada pertobatan. Dengan bantuan mereka Benediktus merobohkan kuil Apollo yang berdiri di puncak Monte Cassino kemudian mendirikan sebuah biara di sana, yang kemudian menjadi biara paling terkenal di dunia, dasar yang didirikan oleh Benediktus di sekitar abad 530. Dari sinilah mulai suatu pengaruh yang memainkan peranan besar dalam sejarah Gereja dan kebudayaan Eropa sesudah masa Romawi.Di Monte Cassino, Benediktus kembali menjalani kehidupannya sebagai seorang eremit. Namun tidak lama kemudian para muridnya segera berbondong-bondong ke Monte Cassino juga. Belajar dari pengalaman peristiwa di Subiaco, ia tidak lagi menempatkan mereka dalam rumah-rumah yang terpisah melainkan mengumpulkan mereka semua dalam satu tempat, yang diatur oleh seorang kepala biara dan wakil-wakil di bawah pengawasannya. Keadaan situasi di Monte Cassino berbeda dengan Subiaco, banyak orang datang ke sana, bukan hanya kaum awam namun juga para pembesar Gereja yang ingin berkonsultasi dengna Benediktus karena reputasi kesucian dan kebijaksanaannya. Apalagi letak Monte Cassino mudah dicapai dari Roma dan Capua. Pada saat ini pula Benediktus menulis peraturan-peraturannya. Pada mulanya peraturan tersebut ditujukan bagi para rahibnya di Monte Cassino, namun Paus Hormidas menginginkan peraturan itu ditulis bagi semua rahib di Barat.

Peraturan-peraturan tersebut ditujukan bagi mereka yang ingin menyangkal keinginan mereka sendiri, dan mengambil “senjata yang kuat dan terang akan ketaatan untuk berperang di bawah Yesus Kristus, Raja kita yang sesungguhnya,” dan peraturan tersebut menyarankan suatu kehidupan doa liturgi, pengetahuan (“bacaan suci”) dan kerja tangan, hidup bersosialisasi dalam sebuah komunitas di bawah seorang pemimpin umum.

Abbas kudus ini tidak hanya melayani mereka yang mau mengikuti peraturannya, tetapi juga melayani umat di sekitar tempat tersebut; ia menyembuhkan orang-orang yang sakit, memberikan penghiburan bagi orang yang tertekan, membagikan amal dan makanan kepada yang miskin, juga pernah dikatakan bahwa ia membangkitkan orang mati tidak hanya satu kali. Ketika Campania menderita kelaparan yang amat sangat, ia memberikan semua persediaan makanan di biara kecuali lima potong roti. “Kamu mungkin tidak memiliki cukup makanan hari ini,” katanya kepada para rahibnya ketika melihat kesedihan mereka, “tetapi besok kamu akan memiliki makanan yang berlebihan.” Esok paginya ada banyak terigu tergeletak tanpa diketahui siapa yang meletakkannya di pintu gerbang biara. Juga dari cerita turun temurun dalam ilustrasi kekuatan profetis Benediktus, dikatakan bahwa ia dapat membaca pikiran manusia. Seorang bangsawan yang baru ia pertobatkan pada suatu waktu melihatnya menangis dan bertanya apa penyebab kesedihannya. Ia menjawab, ”Biara yang telah saya dirikan dan semua yang telah dipersiapkan bagi saudara-saudaraku telah diserahkan ke surga oleh hukuman Yang Mahakuasa. Hampir-hampir aku tidak dapat memohon belaskasihan bagi hidup mereka.” Nubuat ini terbukti sekitar empat puluh tahun kemudian, ketika biara Monte Cassino dihancurkan oleh bangsa Lombard.Ketika Totila, orang Goth menang atas Itali, ia menyampaikan keinginannya untuk bertemu dengan Benediktus karena telah banyak mendengar tentangnya. Oleh karena itu, ia mengirim utusan untuk memberitahukan kedatangannya ke Sang Abbas. Untuk membuktikan apakah orang kudus ini benar memiliki kemampuan seperti yang telah ia dengar, Totila memerintahkan Riggo, kapten pengawalnya untuk mengenakan jubah ungu kebesarannya dan mengirimnya bersama dengan tiga bangsawan yang biasa menyertai raja ke Monte Cassino. Namun, penyamaran ini tidak dapat mengelabui Benediktus yang menyambut Riggo dengan kata-kata, “Anakku, lepaskanlah jubah yang kau pakai itu karena itu bukan kepunyaanmu.” Maka cepat-cepat Riggo pergi dan melaporkan kepada tuannya bahwa ia telah diketahui. Ketika Totila sendiri datang kepada hamba Tuhan tersebut, diceritakan bahwa ia begitu terpesona hingga ia sujud berlutut di hadapannya. Akan tetapi, Benediktus mengangkatnya dari tanah, serta menegurnya karena kelakukan-kelakuannya yang jahat, dan meramalkan kepadanya semua yang akan menimpanya.

Kemudian raja itu mengharapkan doanya dan pergi, dan sejak saat itu tidak menjadi tidak sejahat semula. Kejadian ini terjadi pada tahun 542 dan Santo Benediktus tidak hidup cukup lama untuk melihat semua kepenuhan dari seluruh ucapan profetisnya sendiri. Santo hebat ini juga telah meramalkan banyak hal lainnya dan bahkan juga akan kematiannya yang mendekati. Ia memberitahukan kepada para muridnya dan enam hari sebelum harinya ia meminta mereka untuk menggali kuburnya. Segera setelah hal ini dilakukan ia terkena demam, dan pada hari terakhir ia menerima Tubuh dan Darah Yesus. Kemudian, ketika tangan-tangan penuh kasih dari saudara-saudaranya menopang tubuhnya yang lemah, ia mengucapkan kata-kata doa terakhirnya dan iapun meninggal – berdiri di atas kakinya dalam kapel, dengan tangannya terangkat ke atas mengarah ke surga. Ia dikuburkan di sebelah saudarinya Santa Skolastika di tempat altar dewa Apollo yang ia telah rubuhkan.


Keutamaan dan Teladan Hidup St. Benediktus

1. Pribadi yang sangat mengasihi Allah

Terlahir sebagai seorang putra dari keluarga kaya, tentunya Benediktus dapat menikmati semua kenikmatan yang disediakan oleh dunia ini. Namun, rupanya Tuhan jauh lebih memikat hati Benediktus dibandingkan dengan kenikmatan yang ditawarkan oleh dunia. Baginya hidup sederhana bersama Allah jauh lebih indah dibandingkan dengan hidup yang berlimpah harta dan kedudukan. Tanpa ragu-ragu Benedistus muda meninggalkan keluarga dan hartanya, kemudian ia hidup sangat sederhana dalam sebuah gua di pegunungan dan hanya berpakaian bulu domba. Ia menghabiskan waktunya untuk berdoa dan bermati raga, untuk mengasihi Allah dengan segenap hati dan kekuatannya.


2. Tegas dalam menolak godaan

Hidup secara tersembunyi bagi Allah dan jauh dari dunia rupanya tidak membuat Benediktus terluput dari godaan si jahat. Seringkali Benediktus digoda untuk keluar dari doa-doanya, untuk meninggalkan pertapaannya dan kembali ke dunia. Namun, Benediktus selalu menolak godaan tersebut secara radikal, ia tidak pernah mau mengikuti godaan tersebut.Satu ketika Benediktus pernah digoda begitu hebat oleh roh jahat yang membawa ke dalam imajinasinya seorang wanita yang ia temui sebelumnya. Hatinya dibakar dengan kobaran nafsu, hingga hampir menguasai pikirannya untuk meninggalkan pertapaan. Akan tetapi, dibantu oleh kerahiman ilahi, Benediktus segera melawan godaan tersebut dengan melemparkan dirinya ke semak-semak berduri. Sejak saat itu ia tidak pernah lagi mendapat kesukaran yang sama.


3. Pemimpin yang bijaksana

Cara hidup radikal yang dijalani oleh Benediktus rupanya merupakan suatu persiapan untuk suatu karya besar yang telah disiapkan oleh Tuhan baginya. Cara hidup, kesucian, dan kesalehannya banyak menarik orang-orang di sekitarnya untuk mengikuti cara hidupnya yang keras. Benediktus merupakan seorang pemimpin yang bijaksana, ia memimpin murid-muridnya dengan penuh kasih namun tegas dalam menjalankan peraturan biara demi kebaikan hidup bersama. Ketika ia diminta menjadi pemimpin sebuah biara yang merosot kehidupannya, dengan segera ia menerapkan kembali disiplin dan peraturan biara. Meskipun menemui banyak tantangan, ia tetap berusaha sekuat tenaga untuk membawa mereka kembali pada semangat religius yang benar.


4. Pembimbing rohani yang ulung

Santo Benediktus bukan hanya seorang pemimpin yang bijaksana, tetapi juga seorang pembimbing rohani yang ulung. Ia selalu menolong orang-orang yang datang kepadanya, yang mencari bimbingan rohani dan nasehatnya. Dalam mengajar para rahibnya, Benediktus tidak hanya menekankan doa tetapi menekankan juga pekerjaan tangan. Baginya hidup rohani itu harus seimbang antara doa dan kerja. Pekerjaan tangan ia pandang tidak hanya bermartabat tetapi juga baik untuk kesucian.


5. Seorang yang lembut hati

Kasihnya yang begitu besar kepada Allah juga meluap kepada orang-orang yang ada di sekitarnya, khususnya bagi orang-orang yang miskin, menderita, dan sakit. Benediktus seringkali melayani umat yang ada di sekitar biaranya, menyembuhkan yang sakit, memberikan kelegaan kepada orang yang tertekan, membagikan amal dan makanan kepada orang-orang miskin, dan lain-lain. Benediktus begitu mudah jatuh iba melihat orang yang menderita, dan ia akan berusaha semampunya untuk membantu mereka. Suatu ketika terjadi kelaparan yang amat sangat di Campania. Namun karena belas kasihan dan kelembutan hatinya, ia memberikan semua persediaan makanan di biara kecuali lima potong roti. Pengorbanan dan belas kasihan St. Benediktus rupanya sangat berkenan di hadapan Tuhan, sehingga keesokan harinya ada begitu banyak tepung terigu tergeletak di pintu gerbang biara tanpa diketahui siapa yang meletakkannya.


6. Penuh dengan belas kasih dan pengampunan

Kasihnya yang begitu besar kepada Allah rupanya juga membuat Benediktus menjadi orang yang penuh dengan belas kasihan serta pengampunan kepada orang lain. Baginya kasih kepada sesama adalah perwujudan dari kasihnya yang begitu besar kepada Allah. Kasih bagi Benediktus juga berarti menerima orang lain dalam segala kekurangan dan kelemahan mereka, juga mengampuni segala kesalahan mereka. Namun, itu bukan berarti ia kompromi dengan dosa. Sikapnya ini seperti apa yang diteladankan oleh Yesus sendiri, Ia mengasihi para pendosa tetapi Ia membenci dosa. Sikap ini nampak ketika para rahib di biara memusuhinya, bahkan hendak meracuninya. Belas kasihannya yang begitu besar juga nampak ketika Florentius, seorang imam, membencinya karena iri hati kepada Benediktus.

6. Sharing "Bimbingan Roh Kudus"

1. Dasar-dasar Bimbingan Roh Kudus
Inti agama kristen adalah hubungan pribadi dengan Allah. Yesus datang ke dunia, agar supaya "barang siapa yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan memperoleh hidup yang kekal" (Yoh 3:16). Hidup yang kekal ini adalah "mengenal Bapa, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang diutus-Nya" (Yoh 17:3). Hubungan pribadi itu begitu eratnya, sehingga Yesus menggambarkannya sebagai hubungan antara pokok anggur dan ranting-rantingnya: "Akulah pokok anggur dan kamu ranting-rantingnya" (Yoh 15: 5). Hubungan pribadi itu mengandaikan komunikasi dari dua pihak. Dari pihak Allah hal itu diungkapkan dalam perhatian dan penyelenggaraan terhadap manusia serta segala kebutuhannya. Allah memperhatikan manusia sampai hal yang sekecil-kecilnya, karena tiada sesuatupun yang luput dari pandangan Allah, bahkan burung-burung di udara tidak lepas dari perhatian dan penyelenggaraan Allah. Itulah sebabnya Yesus dalam Mat 6:25-30 mengatakan, bahwa kita tidak usah kuatir akan apapun juga, baik itu tentang makanan maupun pakaian, karena Bapa yang memelihara burung-burung di udara dan bunga-bunga di ladang juga akan memenuhi segala keperluan kita. Kemudian sebagai alasan yang lebih dalam dikatakan-Nya: "Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu yang di surga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu" (Mat 6:32).

Ketika mengajar tentang doa, Yesus bersabda bahwa kalau berdoa supaya jangan bertele-tele memakai banyak kata seperti kebiasaan orang kafir, yang mengira bahwa karena banyaknya kata-kata, doanya akan dikabulkan. Kemudian dikatakan-Nya: "Jadi janganlah kamu seperti mereka, karena Bapamu mengetahui, apa yang kamu perlukan, sebelum kamu minta kepada-Nya" (Mat 6:8).Dari pihak manusia, hubungan itu diungkapkan dalam iman penuh penyerahan diri, seperti diungkapkan Santo Paulus: "Hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku" (Gal 2:20). Iman ini diungkapkan dalam pelaksanaan kehendak Allah sebagai jawaban: "Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku" (Yoh 14:23).Dari semuanya itu kiranya jelas, bahwa agama Kristen bukanlah suatu rentetan hukum-hukum, peraturan-peraturan dan perintah-perintah yang harus ditaati, melainkan pertama-tama adalah suatu relasi pribadi dengan Allah sendiri. Memang, hukum, peraturan dan perintah diperlukan sebagai bantuan, supaya kita dapat mengerti apa yang dikehendaki Allah.

Hal itu khususnya berlaku pada awal hidup rohani kita, sebab pada awalnya orang belum cukup mampu untuk mengikuti bimbingan Allah yang lebih langsung. Namun kemudian kalau hubungan pribadi itu berkembang, Allah akan membimbing kita secara lebih pribadi dan langsung. Karena itu pula, bila orang tidak memiliki hubungan pribadi yang nyata dengan Allah, hidupnya lebih dipimpin oleh peraturan-peraturan. Banyak orang yang hidupnya dikuasai perintah-perintah yang negatif seperti jangan berdusta, jangan mencuri, jangan menipu, jangan berzinah, jangan membunuh dll. Tetapi pada dasarnya hidupnya masih dikuasai oleh kehendak dan keinginan sendiri. Kalaupun ia giat dalam kegiatan gereja, pertemuan sel, pertemuan-pertemuan, persekutuan doa dll, semuanya itu masih sebagian besar demi kepentingan diri sendiri atau berpusat pada egonya dan bukan karena cinta kepada Allah. Dalam hal ini, ia tetap menentukan sendiri arah dan keputusan hidupnya, bukan Allah.Dalam kenyataannya sedikit sekali orang yang sadar, bahwa hidupnya seharusnya diserahkan ke dalam bimbingan Allah yang telah lebih dahulu mengasihi dia (Yoh 4:10).

Sedikit sekali yang berani menyerahkan hidupnya ke dalam bimbingan Allah dalam kepercayaan dan pasrah dari hari ke hari, dari saat ke saat. Mengapa demikian? Karena ia tidak memiliki hubungan pribadi yang sadar dengan Allah, ia merasakan bahwa Allah itu jauh dan kurang hidup bagi dia, walaupun sebenarnya Allah sangat dekat. Sebaliknya setelah orang mengalami Pencurahan Roh Kudus, atau dibaptis dalam Roh, Allah menjadi begitu hidup bagi dia dan ia mengalami suatu relasi pribadi yang nyata dengan Allah. Karena oleh Doa Pencurahan Roh Kudus itu, Allah menjadi begitu hidup bagi dia dan semangatnya menjadi menggebu-gebu dan bahkan seringkali menjadi berlebihan dalam banyak hal dan juga dalam menanggapi bimbingan Allah. Dalam hal ini perlu keseimbangan dalam hidup rohani.

Oleh karena itu perlu bimbingan serta ketaatan kalau mau bertumbuh dalam hidup rohani. Bimbingan Allah itu dikerjakan oleh Allah Tritunggal Mahakudus: Bapa, Putera dan Roh Kudus. Namun secara khusus, bimbingan itu dilakukan oleh Roh Kudus, karena Dialah yang diberi tugas untuk itu oleh Bapa (Yoh 15:8-11, 13-15; 14:26). Roh itulah yang dianugerahkan Allah kepada kita dan yang menjadikan kita anak-anak Allah, sehingga kita dapat berkata: ya Abba, ya Bapa (Rom 8:15). Karena itu Dia pulalah yang membimbing semua anak Allah: "Semua orang, yang dipimpin Roh Allah adalah anak Allah (Rom 8:14). Bahkan pada saat-saat yang sukar, dalam masa penganiayaan, Dia pula yang akan mendampingi para murid Kristus: "Sebab bukan kamu yang berkata-kata, melainkan Roh Kudus" (Mrk 13:11) dan Lukas 12:12 mengatakan: "Sebab pada saat itu juga Roh Kudus sendiri akan mengajar kamu apa yang harus kamu katakan".

2. Cara-cara Allah Membimbing

A. Bimbingan umum
Allah membimbing umat-Nya dengan 2 cara, yaitu bimbingan umum dan khusus. Pada permulaan biasanya Allah membimbing umat secara umum lewat sabda-Nya dalam Kitab Suci, lewat Gereja, lewat arah hidup yang umum.

a. Kitab Suci:
Kitab Suci adalah sumber bimbingan yang pertama dan utama. Lewat sabda-Nya dalam Kitab Suci Allah mengajar, menerangi, menyatakan kehendak-Nya, menegur dan menguatkan kita. Namun Kitab Suci tidak dapat ditafsirkan sesuka hati: "Yang terutama harus kamu ketahui, ialah bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri (2 P 2:20), melainkan harus ditafsirkan sesuai dengan iman Gereja Universal, Gereja Katolik. Kita boleh dan harus membaca firman Tuhan, namun dalam menafsirkannya harus tunduk pada tafsiran Gereja.

b. Gereja:
Gereja sebagai persekutuan umat beriman di bawah kepemimpinan Paus dan para uskup merupakan Umat Allah yang didirikan oleh Yesus Kristus sendiri. Karena itu Yesus secara istimewa memberikan Roh-Nya kepada Gereja itu, supaya ia selalu setia dan tidak sesat. Kehadiran Roh Kudus yang istimewa dalam Gereja menjadikannya mampu untuk mengerti kehendak dan bimbingan Roh Kudus sendiri dan menafsirkannya untuk tiap masa dan situasi bagi umat beriman. Gereja juga diberi karunia dan wewenang untuk menafsirkan Kitab Suci secara tepat. Itulah sebabnya kita harus mempelajari sabda Tuhan dan ajaran iman Gereja, supaya tahu apa yang dikehendaki Allah bagi kita.

c. Status hidup:
Pada umumnya kehendak Allah tidak dapat bertentangan dengan status hidup yang telah dipilih oleh seseorang, biarpun kadang-kadang ada kekecualian juga. Misalnya seorang kepala keluarga harus bertanggung jawab atas kesejahteraan keluarganya. Karena itu ia tidak dapat memberikan pelayanan dengan mengabaikan kewajiban tersebut.

B. Bimbingan khusus secara pribadi
Dalam Perjanjian Baru Allah sering memberikan bimbingan secara khusus. Yesus telah mencurahkan Roh-Nya kepada semua orang yang percaya kepada-Nya, supaya mereka itu mengalami kehadiran, hiburan, kuasa dan bimbingan Allah. Karena adanya hubungan pribadi, Allah ingin secara khusus berbicara kepada umat-Nya serta membimbing mereka, bukan hanya secara kolektif atau masal, melainkan juga secara pribadi. Inilah perbedaan yang menyolok dengan Perjanjian Lama, di mana umat umumnya hanya dibimbing secara masal. Bimbingan khusus ini dapat berupa:

a. Inspirasi atau ilham:
Inspirasi ialah penerangan Roh Kudus yang diberikan kepada seseorang secara langsung untuk mengerti atau melakukan sesuatu. Roh dapat memberikan inspirasi tersebut kepada seseorang dan dengan demikian menyatakan kehendak-Nya kepada orang tersebut. Inspirasi dapat disertai dorongan Roh. Inspirasi dapat berlaku untuk suatu rencana jangka panjang.

b. Dorongan Roh:
Ini merupakan rasa batin yang memberikan keyakinan, bahwa Allah ingin, agar supaya dia melakukan atau mengatakan sesuatu. Ini biasanya untuk suatu tindakan dalam jangka pendek. Dorongan ini merupakan suatu desakan batin dari Roh, tidak sama dengan perasaan, walaupun kadang-kadang dorongan Roh ini bisa dirasakan juga. Ini merupakan suatu pengalaman pribadi dan subyektif dan karenanya dapat keliru. Namun hal itu adalah sesuatu yang amat berharga dan merupakan buah umum dari pencurahan Roh Kudus. Kemungkinan bahwa orang dapat keliru bukan alasan untuk mematikannya, melainkan diperlukan kebijaksanaan dan kepekaan untuk dapat membeda-bedakan roh atau discernment.

c. Tanda-tanda:
Ini cara lain yang juga sering dipakai Allah untuk berbicara kepada kita. Tanda yang paling sering dipakai ialah ialah teks Kitab Suci. Suatu saat teks Kitab Suci dapat tiba-tiba mencuat keluar dan menyentuh hati kita, kadang-kadang dapat dalam sekali, seolah-olah teks itu ditujukan kepada kita secara pribadi. Teks-teks seperti itu amat baik untuk meneguhkan dorongan Roh atau inspirasi.
Kadang-kadang ada orang yang berdoa untuk suatu teks: mohon kepada Allah untuk menunjukkan kehendak-Nya melalui teks-teks Kitab Suci. Hal itu dapat dilakukan dengan 2 cara:- membuka Kitab Suci begitu saja- memperhatikan teks yang muncul dalam pikiran setelah berdoa.Cara-cara ini, walaupun dapat berasal dari Tuhan, namun sangat berbahaya, khususnya dengan membuka Kitab Suci begitu saja. Dalam hal itu yang sering terjadi ialah, bahwa Kitab Suci berubah menjadi buku ramalan.
Demikian pula memperhatikan teks yang muncul dalam pikiran, karena sukar sekali membedakan, mana yang dari pikiran sendiri, mana yang dari Allah.

Dalam banyak hal yang muncul ialah pikiran sendiri. Karena itu sebaiknya cara-cara seperti itu hendaknya jangan dipakai menjadi satu kebiasaan yang lama-kelamaan menjadi keterikatan. Lain halnya kalau orang mendapat dorongan dari dalam untuk membuka Kitab Suci. Pada waktu itu teks tersebut akan mencuat dan memberikan keyakinan yang besar. Demikian pula bila teks itu tiba-tiba muncul sendiri dalam pikiran secara kuat dan konsisten. Kalau tidak, sebaiknya dihindari saja, karena mudah sekali orang keliru.

d. Vision dan sabda batin:
Orang juga dapat menerima vision, penglihatan, misalnya melihat Tuhan Yesus, Bunda Maria, orang kudus, atau sesuatu yang lain. Hal itu dapat terjadi lewat mata jasmani atau mata batin. Orang juga dapat mendengar sabda. Hal itu dapat terjadi lewat telinga jasmani maupun telinga batin. Namun semuanya itu dapat berasal dari setan, dari diri sendiri atau dari Allah, karena itu dalam hal ini kita harus sangat hati-hati. Semakin jasmaniah, semakin berbahaya, karena semakin mudah ditiru oleh si jahat atau timbul dari fantasi sendiri. Karena itu dalam hal ini sikap kita ialah: jangan dipedulikan.
Mengapa?
Kalau itu datangnya dari Allah, maka pada saat diberikan, buahnya sudah tertanam dalam hati kita, yaitu pertobatan, kerendahan hati, pertambahan iman dan cintakasih. Tujuan Allah memberikan semuanya itu ialah untuk memperoleh buah-buah tersebut, bukan supaya orang dapat berbangga-bangga. Itu semua adalah pemberian Allah yang cuma-cuma dan diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kapan dikehendaki-Nya menurut kebijaksanaan-Nya. Mendamba-dambakan hal itu berarti membuka diri bagi penipuan si jahat.

Sikap yang paling tepat dalam hal ini ialah sikap lepas bebas dalam kepasrahan kepada kebijaksanaan Allah, yang tahu, apa yang kita perlukan, apa yang paling baik bagi kita. Kadang-kadang situasi atau keadaan yang menguntungkan dapat menjadi petunjuk kehendak Allah. Namun dalam hal inipun kita harus hati-hati, karena setan juga dapat menciptakan suatu situasi tertentu. Dalam semuanya itu kita harus memakai akal yang sehat dan kita harus memperdalam pengertian kita tentang jalan-jalan Tuhan, khususnya dengan mempelajari tradisi Gereja lewat tokoh-tokohnya yang besar. Dalam semuanya itu sikap dasar kita yang paling tepat ialah kerelaan untuk melaksanakan kehendak Allah. Bila kita sungguh-sungguh rela untuk melaksanakan kehendak-Nya, Tuhan akan menyatakannya kepada kita dengan cara yang tepat dan aman, tanpa keraguan.

C. Bimbingan khusus lewat orang lain
Belajar dari orang lain yang berpengetahuan dan berpengalaman serta minta nasehat-nasehatnya adalah suatu cara untuk dengan tepat mengenal kehendak Allah. Namun secara konkrit, kita menghadapi persoalan besar: Di manakah kita dapat menemukan orang yang demikian itu? Di mana harus kita cari? Mungkin untuk menemukan orang yang hanya sekedar menjadi pendoa saja, tidak begitu sulit untuk menemukannya. Tetapi untuk menemukan pendamping dan pembimbing rohani di tengah dunia dewasa ini, rasanya sulit karena masalah waktu menjadi problem besar. Hampir seluruh aktifitas manusia tersita oleh urusan-urusan duniawi yang menuntut kompetitif sehingga tanpa sadar manusia sudah mendewakan materi. Banyak orang melupakan kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan untuk dicintai dan mencintai, terutama akan cinta Allah dan juga cinta manusia karena manusia diciptakan segambar dengan Allah dalam hal kasih.
Namun bila kita sungguh-sungguh mencari kehendak Allah dengan tulus ikhlas, Allah akan mengutus orang semacam itu kepada kita pada saat kita sungguh memerlukannya.

Catatan:
Untuk menerima bimbingan Allah itu dan mengenali kehendak-Nya kita harus belajar membeda-bedakan bermacam-macam roh atau mengadakan discernment. Karunia membeda-bedakan bermacam-macam roh merupakan karunia yang tidak tetap, yang diberikan Allah secara cuma-cuma kepada orang-orang tertentu, pada saat-saat tertentu pula. Inilah karunia Roh Kudus yang disebutkan Santo Paulus dalam 1 Kor 12:10. Namun disamping itu ada suatu proses discernment yang dapat kita pelajari berdasarkan pengertian yang sehat dan pengalaman para kudus, seperti yang tersimpan dalam Tradisi Gereja. Justru supaya semangat Pembaharuan dalam Roh Kudus tetap berjalan dalam jalan yang benar dan tetap sehat, kita amat memerlukan discernment itu.

3. Tumbuh dalam menerima bimbingan
Supaya dapat tumbuh dalam menerima bimbingan Allah, kita harus:
1. Memperdalam hubungan pribadi kita dengan Allah lewat doa-doa pribadi.
2. Rajin mempelajari dan meresap-resapkan sabda Allah dalam Kitab Suci.
3. Tetapi terutama dengan memupuk kerinduan dan kerelaan untuk melaksanakan kehendak Allah, apapun itu, karena kita tahu, bahwa Allah hanya menghendaki yang terbaik bagi kita, walaupun mungkin saat itu kita belum dapat mengertinya.
4. Penyerahan diri kepada Allah akan membuat kita semakin peka terhadap bisikan Roh Kudus yang berbicara pada kedalaman lubuk jiwa kita.
5. Kesabaran dan kesetiaan: kita harus sabar dan setia untuk tumbuh dalam hubungan pribadi dengan Tuhan dan dalam menerima bimbingan, karena hal itu membutuhkan waktu. Lewat pengalaman-pengalaman sedikit demi sedikit kita akan tumbuh dalam hal bimbingan Allah itu.

5. Sharing "Lectio Divina / Membaca Kitab Suci"

I. PENDAHULUAN
Istilah Lectio Divina berasal dari Origenes.

Menurut asal usulnya Lectio Divina adalah pembacaan Kitab Suci oleh orang-orang Kristiani untuk memupuk iman, harapan dan kasih. Lectio Divina sudah setua Gereja yang hidup dari Sabda Allah dan tergantung dari padanya seperti air dari sumber (Dei Verbum 7,10,21).Pada awalnya tidak ada pembacaan yang diorganisir dan metodis, melainkan tradisi sendiri yang diteruskan dari generasi ke generasi, lewat praktek umat Kristiani. Sistematisasi Lectio Divina dalam empat jenjang baru terjadi pada abad XII. Pada sekitar tahun 1150 Guigo, seorang rahib, mengajukan teori empat jenjang dalam pembacaan Kitab Suci. Hal ini didapatkannya ketika suatu kali tiba-tiba nampak dalam budinya empat tangga jenjang rohani yaitu: pembacaan, meditasi, doa dan kontemplasi. Ini adalah tangga yang dinaiki para rahib dari bumi ke surga. Jenjangnya hanya sedikit tetapi luar biasa tingginya dengan ujung bawah tegak di atas bumi dan ujung atas menerobos awan-awan mencari rahasia surga. Setiap jenjang ini menghasilkan efek yang khas dalam diri orang yang membaca Kitab Suci.

II. TUJUAN LECTIO DIVINA

Kita mencoba untuk mencapai apa yang dikatakan Kitab Suci: “Sabda sangat dekat padamu, dalam mulutmu dan dalam hatimu, untuk kamu laksanakan” (Ul 30:14). Dalam mulut lewat pembacaan, dalam hati lewat meditasi dan doa, dan pelaksanaannya dalam hidup lewat iman yang dikuatkan oleh kontemplasi. Tujuan Lecito Divina adalah tujuan Kitab Suci sendiri yaitu: * Memperoleh hikmat yang dapat membawa kepada keselamatan karena iman akan Yesus Kristus (bdk. 2 Tim 3:15).* Mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran dan dengan demikian membimbing umat Allah untuk segala pekerjaan baik (bdk. 2 Tim 3:16-17).* Membantu kita belajar dari kesalahan pendahulu-pendahulu kita agar tidak jatuh dalam kesalahan / dosa yang serupa (bdk. 1 Kor 10:6-10). III. EMPAT LANGKAH LECTIO DIVINAEmpat jenjang Lectio Divina adalah: pembacaan, meditasi, doa, kontemplasi. Tidak selalu mudah membedakan yang satu dari yang lain. Apa yang dikatakan beberapa orang tentang pembacaan, oleh yang lain dapat dikenakan pada meditasi, dsb. Sikap membaca misalnya dapat berlangsung juga selama meditasi. Keempat sikap itu ada dan berlangsung bersama sepanjang seluruh proses lectio divina, meskipun intensitasnya berbeda sesuai dengan jenjang yang dicapat seseorang.

III.
1. Langkah Pertama: Pembacaan (Lectio)

Pembacaan berarti mempelajari Kitab Suci dengan kerajinan dan perhatian besar. Dengan membaca dengan jelas, perlahan-lahan dan lantang kita menempatkan Sabda Allah di mulut kita, seperti menempatkan makanan pada mulut kita. Membaca merupakan titik awal. Langkah ini membuat pembaca berpijak di bumi. Hal ini perlu sebagai persiapan untuk meditasi dan dialog dengan Tuhan, agar meditasi bukanlah hanya buah khayalan belaka namun berdasarkan teks Kitab Suci dan realitas. Membaca dengan penuh perhatian membantu agar teks Kitab Suci tidak dimanipulasi dan disempitkan menurut pendapat dan keinginan kita sendiri. Karena teks mempunyai arti dalam dirinya sendiri tak tergantung pada orang yang membacanya. Dalam hal inilah sumbangan studi Kitab Suci muncul untuk membantu Lectio Divina yang baik. Kita perlu mengenal teks dalam rangka konteksnya. Catatan:Bagi yang mampu, baiklah mengikuti studi Kitab Suci yang membahas aspek literer, historis dan teologis, tetapi dalam hal ini harus waspada terhadap tafsiran yang rasionalistik tanpa iman, yang sering masih dijumpai dalam studi-studi Kitab Suci. Di samping itu perlu disadari, bahwa untuk dapat melakukan lectio divina tidak mutlak harus melakukan studi ilmiah dan kecuali itu hendaknya disadari pula, bahwa semua itu bukan tujuan lectio divina, melainkan hanya sarana dan bantuan untuk mencapai tujuan. Langkah pertama ini mau menjawab pertanyaan: apa yang dikatakan teks?Membaca teks bagi kita haruslah dengan penuh perhatian dan hormat karena setiap kata berasal dari Allah. Tuhanlah yang memberikan sabda itu kepada kita dengan cara yang sangat pribadi. Mengingat-ingat Sabda adalah juga berarti mengingat Allah dan Tuhan kita Yesus Kristus.Membaca teks berulang kali bagi diri sendiri sehingga hati kita terpusat pada Sabda sudah mengarah pada doa batin. Bila ada gagasan atau kalimat atau kata yang menarik perhatian kita, hendaklah berhenti di situ.Pembacaan harus membuat kita menjadi akrab dengan teks sampai pada titik dimana teks menjadi kata-kata kita sendiri. Kasianus berkata: “Diresapi dengan perasaan yang sama dengan yang meresapi penulisan teks, sehingga seakan-akan kita menjadi penulis-penulisnya”. Saat itulah kita dapat mengetahui bahwa Allah mencoba mengatakan sesuatu kepada kita. Pada saat itu kita menundukkan kepala, menjadi hening dan membuka pendengaran kita: “Aku mau mendengarkan apa yang dikatakan Allah, Tuhan” (Mzm 85:9). Pada saat itulah pembacaan berubah menjadi meditasi dan bergerak menuju langkah kedua yaitu meditasi.

III.
2. Langkah Kedua: Meditasi (Meditatio)

Jika langkah pertama mau menjawab pertanyaan: “Apa yang dikatakan teks?”, maka meditasi mau menjawab pertanyaan: “Apa yang dikatakan teks kepada kita saat ini, di sini, di tempat ini?”.Begitu kita sudah menempatkan Sabda Allah ini dalam mulut kita dan mulai mengu-nyahnya, maka kita sudah mulai bermeditasi berdasarkan teks tersebut. Meditasi berarti memamah, mengunyah Sabda dan berdiam dengan tenang menikmati setiap potong Sabda untuk menyarikan maknanya. Berdialoglah dengan teks melalui pertanyaan reflektif misalnya: apakah persamaan dan perbedaan situasi yang ada pada teks dan sekarang? Konflik yang ada dalam teks dan juga menjadi konflik pada situasi sekarang ini? Apakah pesan teks untuk situasi sekarang? Perubahan sikap apa yang disarankan teks bagiku? Hal apa yang menurut teks harus tumbuh dalam diriku? dls. Setiap kata dari teks hendaklah ditujukan pada diri sendiri. Penting kita perhatikan bahwa langkah ini adalah proses intuitif, sehingga kita dapat melakukannya seperti sedang membaca surat cinta berulang-ulang. Setiap kata begitu dinikmati dan menjadi bagian dirinya. Seorang yang membaca surat dari kekasihnya bahkan hafal kalimat-kalimat yang tertulis itu.Orang yang bermeditasi merenungkan dan merasakan kebenaran yang tersembunyi dalam Sabda Allah dan menjadikannya sebagai kebijaksanaan dalam hidupnya. Merenungkan tidak berarti terus-menerus berpikir-pikir tentang teks itu, melainkan lebih meresap-resapkannya dengan mengulang-ulang teks tersebut, sampai artinya meresap ke dalam hati kita. Bermeditasi ini pada hakikatnya mendengarkan kata-kata yang dibaca secara berulang-ulang untuk menemukan makna yang terkandung dalam Sabda tersebut.Sulit menentukan dengan tegas pada saat mana orang beralih dari meditasi ke doa sebagaimana kita sulit mengatakan dengan tepat bilamana orang beralih dari masa remaja ke masa dewasa. Namun ada patokan yang dapat digunakan. Meditasi membuat makna teks itu terbuka bagi kita dan relevan dengan situasi sekarang dan memberi gambaran akan apa yang diminta Allah dari kita. Bila kita mempunyai gambaran yang jelas mengenai apa yang diminta Allah, tibalah saatnya kita bertanya: Sekarang apa yang hendak kukatakan kepada Allah? Apakah aku menerima atau tidak? Bila yang diminta Allah pada kita menjadi jelas, maka menjadi jelas juga segala keterbatasan, hambatan dan ketidakmampuan kita. Pada saat itu dapatlah kita memohon kepada-Nya: “Tuhan, bangkitlah, bantulah kami” (Mzm 44:27). Dengan kata lain, meditasi ini adalah benih doa.Santa Teresia Avila menambahkan unsur penting untuk membantu bermeditasi yaitu: menempatkan diri kita di dalam hadirat Tuhan. Santa Teresia mengajar kita untuk menyadari kehadiran Tuhan yang amat dekat pada kita.

III.
3. Langkah Ketiga: Berdoa (Oratio)

Dalam membaca kita bertanya: “Apa yang dikatakan teks?”. Dalam meditasi kita bertanya: “Apa yang dikatakan teks kepadaku?”. Sedangkan dalam berdoa kita bertanya: “Aku diajak teks mengatakan apa kepada Allah?”Dalam langkah ketiga ini kita memberi tanggapan dan mengungkapkan di hadirat Allah, apa yang dibangkitkan dalam diri kita oleh Sabda yang telah kita renungkan. Berdoa adalah tanggapan yang muncul dari hati kita atas Sabda Tuhan. Doa ini dapat berupa permohonan, pujian, syukur atau penyesalan. Kita dapat mengungkapkan doa kita dalam suatu percakapan dengan Yesus atau Bapa, boleh juga kadang-kadang dengan Roh Kudus, secara spontan, seperti seorang sahabat yang berbicara dengan sahabatnya yang mengasihi dia, seperti yang diungkapkan Santa Teresa Avila. Percakapan ini hendaknya spontan, sederhana, wajar, tanpa dibuat-buat. Supaya tidak menjadi monolog, doa ini harus bermuara dalam kontemplasi.

III.
4. Langkah Keempat: Kontemplasi (Contemplatio)

Bila pembacaan Sabda berulang-ulang meletakkan Sabda pada bibir kita, meditasi menempatkan Sabda dalam pikiran kita, berdoa menempatkan Sabda pada hati kita, maka dengan bantuan rahmat Tuhan, kontemplasi mengukirkan Sabda pada roh kita.Kontemplasi berasal dari kata latin “contemplari”, yang berarti memandang. Doa kita berubah dari suatu percakapan menjadi suatu pandangan kasih dalam iman, dalam keheningan, tanpa kata-kata, tanpa gagasan. Bila pada awalnya saat-saat kontemplasi ini hanya singkat saja, lama kelamaan, bila kita setia, saat-saat itu dapat menjadi lebih panjang dan bila Tuhan berkenan, orang bahkan ditarik ke dalam keheningan yang besar dan keterserapan dalam Allah. Dalam keheningan dan kedamaian inilah Allah mencurahkan kasih dan kebijaksanaan-Nya. Walaupun demikian janganlah memaksa tinggal dalam keheningan itu bila tidak ditarik dari dalam, sebab kalau demikian keheningan itu menjadi kekosongan yang steril. Sebaliknya bila orang ditarik ke dalam keheningan dari dalam, janganlah takut, sebab itu sungguh suatu rahmat yang besar. Kita bisa tetap diam tenang pada inti terdalam jiwa, menunggu, memandang dan merasakan kehadiranNya yang melampaui kata-kata. Kita berjumpa dengan Sang Sabda sendiri. Kita diangkat untuk mengenal Dia yang sudah lebih dulu mengenal kita sedalam-dalamnya. Kita diangkat untuk mencintai dan dicintai dalam kekuatan Roh yang berdoa di dalam diri kita. Dengan memasuki suatu cahaya yang baru kita mengalami transformasi. Kita telah sampai pada sumber air hidup dan diberi minum secara cuma-cuma dari Sang Penyelamat kita. Bila kita mulai keluar lagi dari keheningan, artinya tidak terpusat lagi, kita dapat mulai lagi proses dari awal, dari langkah I dan seterusnya, atau dapat juga sekedar mengulang-ulangi nama Yesus. IV.


PENUTUP

Dalam melakukan Lectio Divina kita perlu kedisiplinan, ketenangan hati dan tentunya rahmat Tuhan sendiri. Hal terpenting bukanlah banyak berpikir tentang Sabda melainkan banyak mencinta sebagaimana diucapkan Teresa Avila. Semoga melalui Lectio Divina kita semakin me-ngalami persatuan dengan Tuhan.